Jumat, 23 Maret 2012

ETIKA JUAL BELI UNTUK MENUJU PRAKTEK MU’AMALAH YANG KHASANAH

ETIKA JUAL BELI
UNTUK MENUJU PRAKTEK MU’AMALAH YANG KHASANAH
Rizal Mahri
Abstraksi

Artikel di bawah ini mencoba untuk mendiskripsikan bagaimana pentingnya peran etika di dalam menjalankan jual beli (buyu’). Jual beli yang khalalan toyyiba (khalal dan baik) akan mengantrakan pada praktek mu’amalah yang khasanah. Banyak faktor yang mendukung untuk menuju praktek mu’amalah yang khasanah, yaitu dengan beberapa etika berikut:
jujur, bertanggung jawab, ada nya kesepakatan antara penjual dan pembeli, menepati janji, murah hati dan masih banyak lainnya. Dan praktek Jual beli akan berjalan apabila ada beberapa hal berikut: penjual, pembeli, barang yang dijualbelikan, akad, dan barang penukar. Kesemuanya itu (etika dan syarat-syarat jual beli) harus terpenuhi semua dan tidak boleh berdiri sendiri serta harus saling berkaitan sebagai syarat dalam melakukan jual beli yang baik. Maka kiranya sangat penting sekali etika di dalam melakukan komunikasi efektif sebagai sarana peningkatan kualitas interaksi dalam berdakwah (penyampaian pesan kepada mad’u).
Kate kunci: Komunikasi efektif, dakwah, kualitas interaksi, da’i, dan mad’u.



Pendahuluan

Pengertian Etika
Secara etimologi (bahasa) istilah etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti adat-istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Dalam kajian filsafat, etika merupakan bagian dari filasafat yang mencakup metafisika, kosmologi, psikologi, logika, hukum, sosisologi, ilmu sejarah, dan estetika. etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi baik-buruk. (Abdullah Yatimin, 2006, hlm. 4)
Banyak istilah yang menyangkut etika, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu tempat tinggal yang biasa, kandang, kebiasaan, adat watak, perasaan, sikap, dan cara fikir. Dalam bentuk jamak kata ta-etha artinya kebiasaan. Arti ini menjadi bentuk dalam penjelasan etika yang oleh Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukkan istilah etika. Jadi, jika dibatsai asal-usul kata ini, etika berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu adat kebiasaan. Akan tetapi menelusuri arti etimologis ini saja belum menunjukkan arti yang mendalam.
Kata ethos dalam bahasa Indonesia ternyata juga cukup bnayak dipakai, misalnya dalam kombinasi etos kerja, etos profesi, etos imajinasi, etos dedikasi, etos kinerja dan masih banyak istilah lainnya. Etika termsuk ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku yang berarti juga:
1.      Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan kewajiban.
2.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia.
Nilai mengenai benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk, dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat. (Abdullah Yatimin, 2006, hlm. 5 ).
Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengaenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata adab, malainkan membahas tata sifat-sifat dasar, atau adat-istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan merupakan pada situasi kehidupan konkret.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) para ahli berbeda pendapat mengenai definisi etika yang sesungguhnya. Masing-masing mempunyai pandangan sebagi berikut:
1.      Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerapkan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh mansuia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh mansuia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. (Ahmad Amin, 1983, III, hlm. 3 )
2.      Soegarda Poerbakawtja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. (Soegarda Poerbakawtja, 1979, hlm. 82 )
3.      Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran, rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan rasa perasaan samapi menguasai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. (Ki Hajar Dewantara, 1966, hlm. 138 )
4.      Asmaran AS mengartikan etika sebagi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik atau buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran manusia. (Asmaran AS, 1992, hlm. 7 )
5.      Ahmad Zubair berpendapat bahwa yang dinamakan etika adalah merupakan cabang filsafat, yaitu filsafat etika atau pemikiran filsafat tentang moralis, problem moral, dan pertimbangan moral.
6.      Amin Abdullah mengartikan etika sebagi ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi, manusia dikatakan etika berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan burk, prakteknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat. (M. Amin Abdullah, 2002, hlm. 15 )
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikir manusia.

Pengertian Jual Beli   
 Secara linguistik atau bahasa, jual beli (al-bai’) merupakan masdar dari kata bi’tu, diucapkan : ba’a-yabi’u yang bermakna memilki dan membeli. Begitu juga kata syaro mengandung dua makna tersebut. Kata aslinya keluar dari kata  al-b’a karena masing-masnig dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian di sebut al-baiani  . kata  ab’a syaia artinya menawarkan jual-beli. (Abu Muhammad Asyraf, 2008, I, hlm.143)
Sedangkan secara istilah, menurut Madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta lain dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul (Al-Kasani, V, hlm. 133 )
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, al-bai’ adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memilki. Ibnu Qudamah menyatakan al-bai’ adalah pertukaran harta denga harta dengan maksud memilki dan dimilki (Mughni Al Muhtaj, II, hlm. 2 atau III, hlm. 559 ).

Perdagangan atau Praktek Jual Beli Rosulullah;Sebagai Sebuah Tauladan
Nabi Muhammad SAW di dalam melakukan praktek jual beli atau transaksi-transaksi perdaganganya secara jujur, adil dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh atau kecewa. Beliau selalu menepati janji dan menganyarkan barang dagangan dengan standar kualitas sesuai permintaan pelanggan. Reputasinya sebagai pedagang yang benar-benar jujur telah tertanam dengan baik sejak muda. Beliau selalu memperlihatkan rasa tanggungjawabnya terhadap setiap transaksi yang dilakukan. Lebih dari itu, beliau juga meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam melakukan  transaksi dagang secara adil. Kejujuran dan keterbukaan Nabi SAW dalam melakukan transaksi perdagangan merupakan teladan abadi para pelaku jual beli khususnya para pengusaha generasi selanjutnya.
Ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW berikut ini menjadi kaidah yang sangat berarti bagi para pekerja keras yang menjunjung tinggi kejujuran:
Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan kewajiban, di samping sejumlah tugas lain yang telah diwajibkan”. (HR. Baihaqi)
“Allah memebrikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli dan membuat suatu pernyataan” (HR. Bukhari)
Pedagang yang jujur yang dapat dipercaya termasuk dalam golongan para Nabi, orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada” (HR. Tirmidzi dan Daraqutni)
“Tidak ada satupun makanan yang lebih baik dari pada yang dimakan dari hasil keringat sendiri”.  (HR. Bukhari)
Di saat Nabi Muhammad SAW telah menikah dengan Khadijah, Nabi tetap melangsungkan usaha perdaganganhya seperti biasa, namun sekarang Nabi bertindak sebagi manajer sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Sejak perkawinannya (dalam usia 25 Tahun) hingga datangnya tugas kenabian (di usia 40 Tahun), Nabi telah melakukan perjalanan dagang ke berbagai daerah Semenanjung Arab dan negeri-negeri perbatasan Yaman, Bahrain, Irak, dan Syiria.             
Benar bahwa di penghujung usia 30-an, Nabi lebih berkecenderungan ke arah meditasi dan ibadah, dan untuk tujuan ini Nabi sering menghabiskan waktunya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu di gunung Hira (Jabal Nur). Tetapi sebelum itu hingga pertengahan usia 30-an, Nabi banyak terlibat dalam bidang perdagangan sepeti kebanyakan pedagang-pedagang lainnya. Tiga dari perjalanan Nabi setelah menikah telah dicatat dalam sejarah: pertama, perjalanan dagang ke Yaman; kedua, ke Najd, dan ketiga, ke Najarn.
Diceritaka juga bahwa disamping perjalanan-perjalana tersebut, Nabi terlibat dalam urusan dagang yang besar, selama musim-musiam haji, di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz. Sedangkan musim lain Nabi sibuk mengurus perdagangan secara grosir di pasar-pasar kota Makkah seperti:

a.      Transaksi Dagang
Terdapat cukup bukti untuk mendukung adanya transaksi dagang Nabi Muhammad SAW sebelum dan sesudah kenabian, di Makkah maupun di Madinah. Diriwayatkan bahwa Nabi melakukan transaksi, baik untuk penjualan maupun pembelian. Namun, diantara masa kenabian dan hijrah ke kota Madinah, terdapat lebih banyak transaksi pembelian dari pada transaksi penjualan. Setelah hijrah ke Madinah, transaksi penjualan sangat sedikit jumlahnya-menurut sebuah laporan terbukti hanya ada tiga-sementara transaksi pembelian banyak sekali.
b.      Transaksi-Transaksi Penjualan
Sahabat Anas meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menawarkan sebuah barang dan bejana untuk minum seraya berkata “Siapa yang ingin membeli kain pelana dan bajana air minum?” seorang laki-laki menawarnya seharga satu dirham, dan Nabi menanyakan apakah ada orang yang akan membayar yang lebih mahal. Seorang laki-laki menawar padanya dengan harga dua dirham, dan beliaupun menjual barang tersebut padanya (Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majjah).
Abdullah Ibn Hamzah mengatakan :“Aku telah membeli sesuatu dari Nabi sebelum ia menerima tugas kenabian, dan karena masih ada suatu urusan dengannya, maka aku menjanjikan untuk mengantarkan padanya, tetapi aku lupa. Ketika teringat tiga hari Nabi berkata, “engkau telah membuatku resah, aku berada disini selama tiga hari menunggumu”. (Abu Dawud).
c.       Transaksi-Transaksi Pembelian
Nabi Muhammad SAW melakukan sejumlah transaksi besar dalam pembelian, terutama sebelum kenabiannya. Sebagian dari transaksi tersebut adalah sebagai berikut:
Jabir barkata: “Saya sedang melakukan perjalanan dengan menunggang seekor unta yang sudah kelelahan, tetapi ketika Nabi lewat dan memukulnya, unta tadi berjalan lagi. Ini belum pernah beliau lakukan sebelumnya.. Nabi SAW lalu berkata: ”Juallah unta ini padaku seharga satu uqiyah (40 dirham). Saya setuju. Tetapi dengan syarat boleh mengendarainya sampai ke rumah. Ketika sampai di Madinah, saya serahkan unta tersebut dan beliaupun membayar secara kontan”.
Dalam versi lain, Jabir berkata: “Nabi membayar dengan harga tersebut dan mengembalikannya pada saya” . Dan dalam versi Bukhari, “Nabi berkata pada Bilal, bayarlah ia dan berikan padanya sesuatu sebagi tambahan, dan bilalpun memberikan uang tersebut dengan menambah satu qirat”.  (Bukhari dan Muslim).

d.      Pembelian Berdasarkan Kredit
Nabi kadang-kadang membeli barang secara kredit, jika tidak mempunyai sesuatu utnuk dibayarkan. Kadang-kadang beliau membeli sesuatu, dan menggadaikan baju besinya pada pedagang. Abu Rafi’ berkata: “Nabi telah meminjam seekor unta yang masih muda, dan ketika unta-unta sedekah datang padanya, beliau menyuruh saya untuk membayar orang yang menjual unta yang masih muda itu. Ketika saya katakan padanya bahwa saya hanya mampu mendapatkan seekor unta bagus yang umurnya tujuh Tahun, belaiu mengatakan, “Berikan padanya unta terssenut, sebab orang yang paling utama adalah orang yang menebus hutangnya dengan cara yang paling baik”.  (Imam Muslim).
Sahabat Ali menceritakan bahwa, Nabi meminjan beberapa dinar dari seorang tabib Yahudi yang meminta pelunasan dari Nabi. Ketika Nabi memberitahukan pada Yahudi itu, nahwa beliau tidak punya apa-apa untuk membayar, Yahudi tersebut berkata “Saya tidak akan meninggalkanmu Muhammad, hingga engkau sampai membayarnya,” Nabi berkata, “Kalau begitu saya akan duduk bersamamu,” dan Nabi pun melakukan hal tiu. Nabi shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya’, dan esoknya shalat subuh, dan para sahabat Nabi mengancam orang tersebut, Nabi menyadari tindakan mereka. Lalu mereka berkata “Rosulullah, apakah orang Yahudi ini yang menahanmu?” terhadap pertanyaan ini Nabi menjawab “Tuhanku menahanku untuk tidak menyalahi kesepakatan yang telah ku buat, dengan Yahudi tersebut atau dengan orang lain.” Ketka beberapa hari berlalu, Yahudi itu lalu berkata, “Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah Rosulullah; separuh kekayaan saya akan saya belanjakan di jalan Allah. Saya bersumpah, tujuan saya memperlakukan engaku seperti ini semata-mata untuk memastikan gambaran tentang engkau yang telah diungkapkan dalam Taurat: “Muhammad Ibn Abdullah, yang bertanah kelahiran di kota Makkah, yang hijrah ke Taiba, dan yang meiliki kerajaan di Syiria; ia tidak bersifat kasar, keras, atau suka berteriak di jalan-jalan, dan tidak dikenali karena kekasaranya atau pembicaraannya yang tidak senonoh. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Berilah keputusan tentang harta ini menurut apa yang Allah telah perlihatkan padamu. ”Orang-orang Yahudi itu sangat kaya (Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwah).
Muhammad pernah membeli seekor unta, kemudian datanglah penjualnya dan meminta uangnya dengan kata-kata yang sangat kasar. Para sahabat Nabi menangkapnya, tetapi Nabi berkata, “Berikan ia, sebab si pemegang hak berhak untuk berbicara.” Pernah, pada suatu hari, Nabi membeli sesuatu tetapi tidak mempunyai uang untuk membayarnya. kemudian Nabi menjualnya supaya mendapat keuntungan dan  dapat membelanjakan keuntungan tersebut untuk para janda dari Bani Muttalib dan mengatakan, “Nanti saya tidak membeli sampai saya memilki uang untuk membayar harganya” (Abu Dawud).
Suatu ketika datang seorang kreditor Nabi, dan mempelakukan Nabi dengan sangat kasar dalam menagih uangnya. “Sahabat Umar ingin menangkapnya, tapi Nabi mengatakan, “Umar, hentikan, aku lebih suka engkau menyuruhku untuk membayar hutang tersebut-karena ia lebih membutuhkan-dari pada engkau menyuruhnya untuk bersabar” (Zad Al-Ma’ad).

Bagaimana Perdagangan atau Praktek Jual Beli  Mestinya Dilakukan
kriteria pedagang muslim berikut ini dijelaskan dalam Al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengn jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”.  (An-Nisa 4:29).
Ayat Al-Qur’an di atas telah menjelaskan prinsip penting tentang perdagangan atau jual beli atau al-bai’. Setiap muslin harus menjalani kehidupannya seolah-olah Allah SWT selalu hadir besanmanya. Kita harus berfikir bahwa semua harta kekayaan kita merupakan titipan dari Allah, apakah kekayaan atas nama kita sendiri atau atas nama orang lain atau milik masyrakat. Pernyataan Al-Qur’an “Cara yang salah (bathil)” berhubungan dengan praktek-praktek yang bertentangan dengan syari’ah dan secara moral itu tidak halal. Yang disebut dengan perdagangan atau jual beli merupakan sebuah proses dimana terjadi pertukaran kepentingan sebagai keuntungan tanpa melakukan penekanan yang tidak dihalalkan atau tindakan penipuan terhadap kelmpok lain. Tidak boleh ada suap atau riba dalam proses perdagangan atau jual beli.
Ayat Al-Qur’an menekankan perbuatan baik dalam perdagangan atau jual beli. Ini berarti bahwa tidak boleh ada rasa tidak senang atau perbedaan antara golongan-golongan dalam hubungan jual beli. Dalam suap atau riba, acapkali orang berfikir bahwa tidak berbahaya melakukan suap atau riba, dengan penuh kesepakatan di antara golongan-golongan. Kenyataannya, persetujuan ini terjadi dengan kekuatan lingkungan sekitar yang memaksanya. Sebetulnya, masih ada “tekanan” terselubung ke dalam untuk mencapai persetujuan ini seolah-olah terjadi persetujuan antara kelompok-kelompok perjudian kenyataannya. Padahal bentuk persetujuan yang tidak diucapkan itu terjadi sebagi akibat harapan-harapan yang salah pada pikiran mereka agar mereka mendapat kemenangan atau keuntungan. Orang tidak berpartisipasi pada perjudian ini dengan harapan kosong belaka. Demikian pula, praktek-praktek curang dalam perdagangan atau jual beli rupanya telah mendapat persetujuan antara golongan-golongan, tetapi ini tidak terjadi pada orang yang kalah dalam penipuan yang tidak sadar akan kecurangan aktual itu. Haruskah dia ketahui hal itu, secara pasti seharusnya dia itu menahan diri dari perbuatan penipuan dan kecurangan yang tercela itu. (A. Rahman, 1996, III, hlm 6).
Dalam surat Al-Baqarah, petunjuk serupa terjadi dan orang-orang yang beriman dituntut agar tidak memanfaatkan harta bendanya untuk hakim-hakim yang korup atau hal-hal lain yang berkuasa dengan tujuan menghabiskan secara salah dan sengaja harta kekayaan milik orang lain:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan jangan kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan berbuat dosa, padahal kamu mengetahuinya”. (Al-Baqarah 2:188).
Setiap orang islam hendaknya jujur dalam tindakan, sebagaimana timbangan yang tepat ketika berjualan dan dalam semua kegiatan yang berkenaan dengan orang lain. Orang Islam tidak boleh tertipu daya karena contoh kualitas yang baik, lalu menjual barang-barang yang rendah mutunya, atau mengurangi timbangan.
Tiap orang Islam dituntut untuk mencari  nafkah dengan cara yang benar. Bila seseorang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tidak halal, lalu mengeluarkan sedekah dan zakat kepada fakir miskin. Cara seperti ini tidak akan diterima oleh Allah SWT, dan sebaliknya malah akan mendapatkan dosa dan siksa neraka.
           
“Orang yang mengumpilkan harta dengan cara yang bathil, kemudian dari harta ini ia bersedekah, maka orang ini tidak akan mendapatkan pahala, bahkan yang akan diterimanya adalah dosa dri perbuatannya yang tidak halal itu”. (Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan Al-Hakim)
Harta kekayaan apapun yang diperoleh dengan cara yang bathil dan tidak halal, tidak akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Harta kekayaan apapun yang ditinggalkan kepda keturunannya, juga akan menjadi sumber malapetaka yang besar di dunia maupun di akhirat. ALLAH, sang pencipta alam semesta ini, tidak menghapus kejahatan dengan kejahatan, atau kekotoran dengan kekotoran pula. Harta apapun yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, akan terus perpengaruh buruk terhadap generasi mendatang. Kemudian harta kekayaan yang diperoleh dengan cara yang halal dan benar, akan mendapat rahmat dan berkah bahkan bagi keturunannya. Rosulullah  SAW bersabda:

“Kapan saja hamba Allah itu memperoleh harta dengan cara yang bathil, lalu digunakan untuk bersedekah, maka sedekahnya itu tidak akan diterima oleh Allah.  Tidak ada rahmat terhadap apa saja yang dia berikan dan sesungguhnya dia meninggalkan di belakangnya (keturunannya) denga hanya menambah siksa api neraka. Sesungguhnya, Allah tidak akan menghapus kejahatan dengan kejahatan, melainkan Allah akan menghapus kejahatan dengan kebaikan. Sesungguhnya keburukan itu tidak akan hilang dengan keburukan”.
Manakala kita mencoba memahami perintah Allah dan lebih jauh memahami penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Nabi SAW dalam hadits-haditsnya, akan jelas bahwa hukum-hukum Allah itu terbentur pada tiap akar kejahatan yang diakibatkan oleh bentuk kapitalisme modern. Hukum-hukum Allah itu itu melarang aturan-aturan atau moralitas atas manusia dalam mencari dan membelanjakan serta memegang tanggung jawab bagi kehidupan sesama manusia.  menimbun adalah perbuatan terkutuk (Al-Humazah 104:2), dan riba dilarang (Al-Baqarh 2:275), berlebih-lebihan dicela (Al-Isra’ 17:26) dan jalan tengah disetujui (Al-Isra’ 17:29). Kekayaan itu bukan untuk di habiskan secara sia-sia (An-Nisa 4:2), melainkan dikembangkan dengan kejujuran dan melalui perdagangan agar berguna bagi kesejahteraan komunitas, namun bukan karena alasan sosialisme. (A. Rahman, 1996, III, hlm. 11).
Dengan demikian, Al-Qur’an menyetujui nilai-nilai yang  mulia dalam persamaan hak, kadilan, kooperasi dan pengorbanan dalam rangka mengorganisasikan lingkungan sosio-ekonomi masyarakat Islam. Nabi SAW bersabda: “Apabila Allah menghendaki siapa saja yang menguasai pekerjaan umat Islam dan orang ini mengabaikan persyaratan-persyaratan, maka Allah juga akan melupakannya nanti ketika diperlukannya”.
  

                                










DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 1997
A. Rahman, Muamalah,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Abu Muhammad Asyraf, Fiqih Jual Beli;Panduan Praktis Bisnis Syari’ah, Jakarta: Senayan Publishing, 2008
Abdullah Yatimin, Pengantar Etika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: The International Institute Of Islamic Thought-Indonesia, 2002
Bukhari Alma, Pengantar Bisnis, Bandung: Alfabeta, 1997

Tidak ada komentar: