Jumat, 23 Maret 2012

PENDIDIKAN PROFESIONAL DAN BERKUALITAS (Tuntutan Menuju Tatanan Masyarakat Madani di Indonesia)

    PENDIDIKAN PROFESIONAL DAN BERKUALITAS
(Tuntutan Menuju Tatanan Masyarakat Madani di Indonesia)
Rizal Mahri
Abstrak
   Terbentuknya tatanan masyarakat madani di Indonesia itu memerlukan beberapa aspek yang harus terlaksana, yaitu salah satunya adalah dari aspek pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan di Indonesia jika ingin menuju masyarakat madani maka harus melibatkan masyarakat dalam proses pendidikan sebagai wujud terciptanya negara yang demokratis. Selanjutnya pendidikan seperti apa yang dapat menuju ke tatanan masyarakat madani Indonesia ? yaitu pendidikan profesional dan berkualitas. Pendidikan profesional dan berkualitas akan memunculkan individu/masyarakat dapat menjadikan bangsa ini lebih mandiri, disiplin, kuat serta menuju ke tatanan sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.

Kata kunci: Pendidikan Profesional dan Berkualitas, Indonesia dan Masyarakat Madani.

PENDAHULUAN
Memasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tetapi semua jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh departemen teknis, dengan tuntutan social equety sangat kuat ynag tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tetpai juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya, kualitas dan profesionalitas manusia, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan memengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.[1]
Bersamaan dengan itu, di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang dan Malaysia, baik dalam aspek angka partisipasi pendidikan, maupun rata-rata lamanya setiap anak bersekolah. Bahkan jika dilihat dari indeks sumber daya manusia, kualilitas dan profesionalitas dalam pendidikan, posisi Indonesia kian menurun dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia yang sudah tidak bisa dihindari. Indonesia kini menjadi bagian dari kompetisi masyarakat dunia, apalagi kalau memerhatikan hasil pertemuan puncak ASEAN ke-12 bulan Januari tahun 2007 dengan kesepakatan untuk penciptaan masyarakat ekonomi ASEAN tahun 2015.[2]
Konsekuensi kesepakatan di atas adalah akan terjadinya aliran perdagangan barang dan jasa lintas ASEAN tanpa bisa diproteksi oleh pemerintah negara masing-masing. dengan demikian, seluruh SDM  dari negara-negara  ASEAN  akan terlibat daam kompetisi internal termasuk SDM Indonesia dengan kompetitor seluruh SDM  dari negara-negara  ASEAN.  Jika tidak menjadi pemenang, maka akan manjadi yang kalah serta tertinggal dari masyarakat lainnya, khususnya dalam meraih pasar dan pelunag kesempatan kerja yang tidak dibatasi oleh garis wilayah kenegaraan, tetapi bergerak kian meluas, dan kini dimulai di wilayah Asia Tenggara yang akan terus bergerak menjadi wilayah dunia. Oleh sebab itu, penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, profesional, kompetitif serta memiliki berbagai keunggulan komparatif menjadi sebuah keharusan yang mesti menjadi perhatian dalam sektor pendidikan.[3]
Lemahnya SDM hasil pendidikan juga mengakibatkan lembannya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Namun saat negar-negara ASEAN lainnya sudah pulih, Indonesia masih belum mampu melakukan recovery dengan baik. Dody Heriawan Priatmoko mengutip pernyataan dari pernyataan Schutz dan Solow, menegaskan bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan SDM, kualitas dan professionalitas yang berasal dari pendidikan tersebut.[4] Pendidikan yang berkualitas dan profesional serta mencetak kualitas SDM yang hebat bukan semata-mata berasal dari pendidikan yang mahal dan mewah. Kecenderungan kurikulum di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia kurang mengarahkan pendidikan kepada peningkatan kualitas, profesionalitas kemanusiaan dan kualitas SDM. Hal tersebut dapat dilihat dari lulusan atau output dari sebuah institusi pendidikan atau perguruan tinggi yang kurang mengisi peluang sebagai tenaga kerja dari peluang-peluang yang lahir dari terbukanya dunia bisnis di Indonesia yang sudah masuk pada zaman globalisasi ini. Zaman globalisasi akan menciptakan suatu arena persaingan di mana setiap orang dari berbagai penjuru dunia akan berlomba-lomba memasuki pasar kerja. Persaingan tersebut tidak dibatasi oleh perbedaan wilayah negara, sehingga orientasi pendidikan di samping menekankan aspek akademik juga harus menekankan pada penyiapan lulusan atau output sebagai tenaga kerja yang terampil dan kompetitif dalam persaingan global.[5]
Pernyataan di atas dapat di buktikan dengan kejadian real yang terjadi sekarang di mana perekonomian Indonesia berkembang 6,6 %[6] dari tahun lalu dan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Eropa. Terasa kekurangan tenaga untuk mengisi dan  memanfaatkan kondisi tersebut untuk lebih menguatkan lagi perekonomian di Indonesia. Apakah hal tersebut karena kualitas dan profesionalitas pendidikannya yang rendah atau memang dari pribadi orang Indonesia yang kurang bersemangat untuk berkembang. Kalau dilihat dari pribadi orang Indonesia yang tidak mau berkembang kayaknya tidak realistis dengan kemajuan yang telah dicapai selam ini. Jadi bisa saja hal itu terjadi karena rendahnya kualitas dan profesionalitas para lulusan yang berasal dari institusi pendidikan.
Jadi, disinilah pentingnya pendidikan yang berkualitas dan profesional sebagai upaya untuk dapat menjadi tatanan masyarakat Indonesia yang madani, yaitu tatanan yang dapat menjadikan bangsa ini lebih mandiri, disiplin, kompetitif, kuat serta menuju ke tatanan sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.[7]

MENGAPA PENDIDIKAN PROFESIONAL DAN BERKUALITAS PERLU?
Di dalam undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa program pendidikan tinggi (pendidikan berkualitas) mempunyai dua jenis yaitu program akademik dan program profesionalitas. Program akademik dimaksudkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan program profesionalitas untuk mempersiapkan tenaga-tenaga terampil untuk berbagai jenis pekerjaan yang meminta tenaga-tenaga berpendidikan tinggi. Klasifikasisi program tersebut tentu saja tujuan baik, namun di dalam pelaksanaannya terus-menerus mengalami hambatan sehingga tenaga profesional yang diharapkan dapat mengisi permintaan tenaga kerja tingkat tinggi, khususnya untuk bidang manajemen/bisnis terus saja menjadi masalah yang mengkhawatirkan.[8] Juga dengan adanya pendidikan yang berkualitas dan profesionlah diharapkan terciptanya “civil society” yakni masyarakat yang mempunyai peradaban, karena hanya susunan masyarakat yang telah memiliki peradaban yang mampu membangun tatanan masyarakat/bangsa yang beradab dan maju.[9] Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik pendidikannya dan bangsa  yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju.[10]
1.      Tuntutan dunia terbuka
Dunia dewasa ini, banyak dari negara-negara di Eropa yang mengalami krisis global yang berkepanjangan terutama dalam kehidupan ekonomi dan finansial, dan hal tersebut sangat berpengaruh dengan pasar ekonomi, di mana Indonesia juga ikut terlibat di dalamnya. Tentunya diharapkan krisis ekonomi global tersebut akan secepatnya dapat berlalu. Kemudian pasca krisis ekonomi tentunya kita akan membutuhkan tenaga-tenaga profesional dan berkualitas di dalam kualitas yang semakin tinggi dan dalam jumlah yang memadani. Dunia dalam milenium[11] ketiga, oleh kemajuan teknologi dan informasi komunikasi, telah mendorong terciptanya suatu masyarakat terbuka di dalam berbagai kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi dan bisnis. Kerjasama regional maupun internasional telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi arus pertukaran manusia dan barang. Hal tersebut menuntut pengelolaan bisnis yang lain wajahnya dengan apa yang kita kenal sampai sekarang.
Kebutuhan akan tenaga-tenaga terampil di dalam bidang manajeman dan bisnis adalah merupakan tuntutan dunia terbuka yang tidak dapat di tunda-tunda. Di masa krisis ini pun justru kita harus lebih menyadari dan membuat suatu rencana pengembangan SDM yang berkualitas (manusia siap pakai dan mnusia yang mampu menerima serta menyesuaikan dan mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungannya)[12]. Apalagi krisis ini sudah dapat diatasi maka tenaga-tenaga kita telah siap untuk melaksanakan perdagangan bebas, pertukaran barang dan jasa tanpa batas, sehingga SDM manusia Indonesia sudah siap bersaing dengan SDM negara-negara tetangga serta tenaga-tenaga internasional lainnya.[13]
2.      Perubahan dunia yang sangat cepat
Perubahan dunia yang sangat cepat ini menuntut para lulusan atau output dari Institusi pendidikan harus siap mengahadapi berbagai perubahan tersebut, tidak hanya dalam kemampuan akademik, komunikasi, tetapi juga kecakapan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Tantangan ke depan adalah keragaman permintaan pasar, dan sebuah Institusi pendidikan harus mempau mempersiapkan orang-orang yang akan mengisi kebutuhan tersebut. Sumber daya manusia yan diserap Institusi pendidikan juga membawa keragaman tersebut. Dengan demikian, tidak fair kalau semua output yang dihasilkan harus memilki hanya satu ketrampilan yang sama, dan jika terjadi, itu merupakan tragedi dalam masyarakat demokratis, karena masyrakat demokratis menghargai keragaman.[14]
3.       Belajar dari pengalaman
Ada baiknya apabila kita belajar dari pengalaman negara-negara yang lain bagaimana mereka dapat memecahkan masalah untuk memenuhi tenaga-tenaga kerja yang profesional dan berkualitas, khususnya di bidang manajemen/bisnis. Marilah kita lihat sejenak pengalaman perguruan tinggi Amerika Serikat di dalam hal ini. Seperti kita ketahui, dunia pendidika tinggi Amerika di abad ke-19 mempunyai dua aliran pokok. aliran yang pertama ialah orientasi riset yang masuk ke Amreika Serikat dari perguruan tinggi Jerman. Universitas Berlin dan Universitas Humbolt merupakan modal dari  research university yang memasuki perguruan tinggi di Amerika pada paruh kedua abad ke-19. Sementara itu pembangunan dunia baru yang berdasarkan pertanian juga membutuhkan tenaga-tenaga lulusan perguruan tinggi dalam pengembangannya. Dengan lahirnya land-grant colleges pada paruh kedua abad ke-19 maka lahirlah universitas-universitas negeri (state university) yang berorientasi kepada penyediaaan tenaga-tenaga profesional dan berkualitas khususnya utnuk perkembangan pertanian.
Lambat laun kebutuhan akan  tenaga-tenaga profesional dan berkualitas bukan hanya di bidang pertanian tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya seperti dalam bidang perdagangan dan industri sejalan dengan bertumbuhnya industri Amerika. Adalah Universitas Harvard yang telah mengkombain kedua kebutuhan masyarakat tersebut dengan meenyajikan dua jenis program yang menghasilkan masing-masing tenaga-tenaga riset berkualitas dan tenaga-tenaga yang profesional. Maka disamping program-program tradisional Ph.D dan M.A., lahirlah apa yang disebut program Master dan program Doktor untuk satu bidang tertentu seperti Doctor of Law, Doctor of Education, Doctor of Science,  dan sebagainya. dari Universitas Harvard inilah untuk perama kalinya muncul program MBA yang tersohor itu.[15]
4.      Kemajuan teknologi dalam semua sektor industri (akibat arus globalisasi)
Berbagai perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti kemajuan teknologi komunikasi, informasi, dan unsur budaya lainnya akan mudah diketahui oleh masyarakat. Kecenderungan sepeeti itu harus diantisipasi oleh dunia pendidikan jika ingin menempatkan pendidikan pada visi sebagai agen pembangunan dan perkembangan yang tidak ketingglan zaman. Dalam konteks ini, pendidikan sebagaimana yang dinyatakan Amir Faisal, harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidka sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menyesuaiakn dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu, yakni menjadi manusia yang kreatif dan produktif.[16]
Pernyatan yang hampir mirip dengan Amir Faisal, Dede Rosyada juga mengatakan bahwa, kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini kian menggeser posisi manusia. Kecanggihan alat-alat teknologi semakin mengefisiensikan proses industri dan layanan jasa. Dengan demikian, pendidikan dituntut untuk  mempersiapkan SDM yang hebat, orang-orang yang profesional dan berkualitas agar tidak tergeser oleh alat-alat moder itu, tetapi justru menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut. [17]
5.      Orientasi pada budaya pendidikan akademik  
Sebuah kenyataan bahwa budaya akademik bangsa Indonesia ini masih sangat lemah, terutama dalam membaca dan meneliti. Bidang pendidikan hanya akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik bila berada di dalam budaya akademik yang berkembang, dan pendidikan itu sendiri juga merupakan jalan yang paling strategis untuk menumbuhkembangkan budaya akademik yang dimaksud. Jadi ada semacam bola salju yang menggelinding, semakin lama semakin besar. Dalam mengembangkan masyarakat akademik yang kuat, disarankan agar dalam pembangunan nasional 15 tahun ke depan didirikan perpustkaan rakyat yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan tingkat dan kebutuhannya, dan makin lama makin meningkat.[18]
Kenyataan di atas sebenarnya sebuah pendidikan akademik yang awal-awalnya ditujuakan pada pengembangan masyarakat atas ilmu pengetahuan. Otomatis sifatnya sangat akademik dan teoritis. Oleh sebab program akademik tidak diarahkan kepada tersedianya tenaga-tenaga profesional dan berkualitas di dalam suatu bidang pekerjaan, maka proram ini tidak diarahkan kepada supply untuk tenaga-tenaga ahli tertentu yang berkualitas. Berbagai teori dikaji atau disusun suatu teori yang baru berdasarkan metodologi deduktif. Oleh sebab tujuan dari program ini adalah untuk semata-mata pengembangan ilmu pengetahuan, maka bisa saja terjadi lembaga pendidikan tinggi berubah menjadi diploma mill.
6.      Orientasi pendidikan profesional
Program pendidikan profesional didasarkan kepada kebutuhan tenaga-tenaga profesional yang diminta oleh dunia kerja. Sudah tentu program pendidikannya meskpun tetap pada taraf akademik tetapi orientasinya ialah orientasi praktis. Oleh sebab itu program kurikulumnya adalah memecahkan masalah-masalah prktis yang dihadapi sehari-hari. Program pendidikan ini sangat cocok dengan kebutuhan konsumen karena dunia konsumen memerlukan tenaga-tenag yang prakits yang dapat memecahkan masalah-masalah yang nyata yang dihadapi di lapangan. Dengan demikian materi di dalam programnya adalah studi-studi kasus yang dianalisis secara induktif. Para mahasiswa belajar memecahakan masalah dengan kenyataan yang dihadapi oleh dunia profesinya. Dengan demikian orientasi pendidikan profesional betul-betul berdasarkan kebutuhan pasar kerja dan tunduk pada otoritas pasar, bukan otoritas birokrasi.
Orientasi pedidikan profesional ialah dunia yang nyata, maka sangar tepat para instruktor atau dosen di dalam program ini berasal dari dunia industri dan bisnis. Mereka inilah yang menghadapi masalah-masalah konkrit di dalam bidang industri dan bisnis sehingga dapat memcahkannya secara profesional. Berbeda dengan pendidikan yang berorientasi pada akademik, para dosennya adalah para pakar teori. Pendidikan profesional mempunyai kerjasama yang sangat erat dengan dunia industri dan buisnis, kriteria yang penting dari seorang dosen ialah penguasaanya terhadap ilmu pengetahuan dalam bidangnya yang terakumulasi di dalam buku-buku teks. Sedangkan pendidikan profesional tidak akan berjalan apabila tidak didukung oleh dunia bisnis.[19]
7.      Orientasi pendidikan berkualitas
Orientasi pendidikan berkualitas ini adalah kombinasi antara orientasi akademik dan orientasi profesional yang berasal dari output sebuah Institusi pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dunia dewasa ini membutuhkan orang yang tidak hanya pendai dalam akademik tapi juga profeional, agar dalam setiap tindakan yang dilakukannya sesuai dengan apa yang diharapkan dan semestinya terjadi untuk menyongsong kehidupan yang madani dan sebagai perwujudan dari masyarakat yang ideal yaitu masyarakat yang memiliki peradaban maju.[20] Masyarakat yang maju tentu mempuyai kualitas diri yang hebat, hal ini sebagai modal untuk menghadapi dunia pasar yang sangat berkembnag secara cepat. Maka lembaga pendidikan dituntut untuk mencipatakan output yang mempunyai akademik tinngi, sikap profesional dan juga kualitas diri yang hebat sehingga mampu menyaesuaikan dan mengambangkan arus pasar global yang menunut kerja yang secara teratur.
Kemudian, kualitas manusia yang seperti apa yang harus dicukupi oleh lembaga pendidikan untuk mengahadapi dunia pasar yang terjadi dewas ini. Dalam hal ini Mohammad Thoha Hasan mengatakan bahwa, peningkatan kualitas diri manusia yang dicapai melauli pendidikan, diharapkan dapat mencakup beberaopa aspek, yaitu:[21]
1.      Peningkatan kualitas fikir (kecerdasan, kemampuan analisis, kreativitas dan visioner).
2.      Peningkatan kualitas moral (ketaqwaan, kejujuran, ketabahan, keadilan dan tanggung jawab).
3.      Peningkatan kualitas kerja (etos kerja, ketrampilan, profesional dan efisien).
4.      Peningkatan kualitas pengabdian (semangat berprestasi, sadar pengorbanan, kebanggaan terhadap tugas).
5.      Peningkatan kualitas hidup (kesejahteraan materi dan rohani, ketrentaman dan terlindunginya martabat dan harga diri).
Melihat bebarapa poin-poin di atas, maka pendidikan harus bisa mencitkan output yang berkualitas, baik dari segi akademik, moral, pengabdian, hidup dan juga kerja untuk dapat bertahan dalam kehidupan ini yang penuh dengan persaingan.
Indikator pendidikan akademik, profesional dan berkualitas:
INDIKATOR
PENDIDIKAN AKADEMIK
PENDIDIKAN PROFESIONAL
PENDIDIKAN BERKUALITAS
Orientasi
o   Pengembangan ilmu pengetahuan
o   Akademik/teoritis
o   Suplly tenaga ahli
o   Teori buku-deduktif
o   Diploma mill
o   Otoritas birokrasi
o   Kebutuhan dunia kerja
o   Kebutuhan konsumen
o   Studi kasus-induktif
o   Kebutuhan pasar kerja
o   Otoritas pas
Kebutuhan akademik sekaligus kebutuhan dunia kerja

Akreditasi
Badan akreditasi formal yang dibentuk pemerintah
Dibentuk masyarakat, dunia bisnis dan organisasi profesi.
Gabungan antara badan akreditasi dari pemerintah dan masyarakat, dunia bisnis dan rganisasi profesi
Ujian
State-based
Institution-based
State-based dan Institution-based
Gelar
MM, Ph. D, DR.
profesional (MBA, DBA)
Bisa mendapatkan gelar akademik dan profesional
Dosen
Dari dunia akademik
Dari dunia pengalaman, industri dan bisnis
Dapat dari dunia akademik juga dapat dari dunia pengalaman, industri dan bisnis
Mahasiswa
S1 akademik
S1+ mempunyai pengalaman kerja
S1 akademik + pengalaman kerja
Wacana Pendidikan Baru menuju Masyarakat Madani di Indonesia:[22]

Wacana pendidikan baru

berfikir
bersikap
Berbuat
Cerdas, arif, terampil, profesional, dan berkualitas
UUD 1945
IMTAQ
IPTEK
GBHN 1999




             

MANUSIA SEUTUHNYA
dalam
MASYARAKAT MADANI
 







HAMBATAN-HAMBATAN PENGEMBANGAN PEDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA
Dari berbagai sudut pandangan mengenai masalah-masalah serta pengembangan pendidikan tinngi nasional kita, ada tigal hal yang nampaknya menjadi penghambat pengembangan pendidikan nsional di Indonesia, yaitu akuntabilitas, kualitas dan otonomi. Suatu pranata sosial mempunyai akuntabilitas yang tinggi apabila pranata tersebut dapat mempertanggungjawabkan fungsinya yang telah diberikan oleh masyarakat kepadanya. Apabila masyarakat percaya bahwa pranata sosial tersebut melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya maka  pranata tersebut mendapat kepercayaan dari masyrakat. Dengan demikian partisipasi aktif masyarakat di dalam menyelenggerakan tugas pranata sosial tersebut sangat besar. Sebaliknya apabila suatu pranata sosial kurang akuntabilitas maka pranata sosial tersebut tidak mendapat kepercayaan dari masyrakat.
Pranata sosial seperti lebaga pendidikan dalam dunia modern mempuyai kualitas apabila output pranata sosial tersebut dinilai positif karena sejalan dengan tuntutan perkembangan masyarakat.
Kedua indikator pranata sosial di atas, yaitu akuntabilitas dan kualitas, tergantung pada indikator berikutnya yaitu sejauh mana pranata sosila tersebut mempunyai otnomi. Apabila otonomi pranat sosial tersebut dibatasi oleh pemerintah atau birokrasi, maka pranata sosila tersebut tidak dapat melaksankan fungsinya atau tidak memperoleh keperayaan masyarakat untuk mempersiapkan tenaga-tenaga yang berkualitas dan profesional yang sesuai dengan kebutuhan masyrakat.[23]
1.      Akuntabilitas
Sebelum membahas lebih jauh masalah hambatan pengembangan pendidikan nasional, ada baiknya kita tahu dulu apa yang dimaksud dengan akuntabilitas. Menurut Slamet "Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.[24]
Lain lagi dengan Moh Ashan (1983), dia menyebutkan bahwa akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggungjawabnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas adalah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders.  
Selanjutnya, sistem pendidikan nasional kita begitu sentralis sangat terasa kebijakan pemerintah yang sangat dominan. Lembaga pendidkan kita terikat pada peraturan-peraturan yang baku demi untuk ”melindungi” konsumen. Namun sebenarnya siapa yang dilindungi oleh peraturan-peraturan tersebut? pada hakikatnya masyarakat sebagai konsumen telah dilecehkan. Masyarakat kita tidak mempunyai akses untk meningkatkan akuntabilitas dari perguran tinggi kita. Begitu pula apa yang kita kenal sebagai badan akreditasi untuk pendidikan tinggi tidak mengukur mengenai output dari pendidikan tinggi kita, tetapi kriteria yang digunakan adalah sejauh mana suatau lembaga pendidikna tingi memenuhi syarat-syarat (requiretments) mengenai faslitas gedung, jumlah tenaga dosen dan sebagainya. Dan tidak mengukur mengenai kualitas dari output suatu lembaga pendidikan menurut penilaian masyarakat pemakai.
2.      Kualitas
Pendidikan tinggi dewasa ini ingin mencapai kualitas yang uniform. Kriteria ini tidak realistik. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kualitas menurut ukuran pemerintah itulah yang diukur denga kurikulum baku, tetapi sebenarnya kualitas menurut ukuran konsumen. Selain dari pada itu, kualitas yang uniform tidak melahirkan persaingan yang fair. Dengan demikian tanpa persaingan tidak mungkin dicapai pengingkatan kualitas.[25]
3.      Otonomi
Akuntabilitas yang rendah serta kualitas yang merupakan tanda tanya, semuanya disebabkankarena otoitas pemerintah yang sangat kuat dan sentralistik sehingga tidak memberikan bagi inovasi. Dengan demikian yang ingin dicapai di dalam sistem pendidikan tinggi yang demikian adalah uniformitas yang menegasikan keragaman.
Otonomi pendidikan tinggi akan memacu peningkatan kualitas. Memang ada yang mengkahawatirkan desentralisasi akan menurunkan kulitas. Tapi sebenarnya sentralisasi ingin mencapai kualitas yang semu karena apa sebenarnya yang dicapai bukanklah kualitas yang murni tetapi kualitas yang mengada-ada karena hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang bersifat formal.
Otonomi pendidikan tinggi merupakan kebutuhan dalam era reformasi, sebab dengan otonomi pendidikan tinggi akan belajar utnuk dewasa baik di dalam organisasi, finansial serta pengembangannya. Pendidikan tinggi kita dewasa ini adalah pendidikan tinggi yang tidak mempunyai jiwa karena hanya sekedar sekrup-sekrup dari suatu mesin besar yaitu mesin pemerintah. Organisasi perguruan tinggi kita merupakan copy birokrasi depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Dengan sendirinya perkembangan pendidikan yang ditiup-tiupkan oleh gerakan reformasi karena tidak mendidik masyarakat itu untuk menjadi masyarakat yang dewasa yaitu masyarakat madani.[26]


SARAN-SARAN PEMECAHAN MASALAH DI ATAS
Saran yang dapat penulis berikan terhadap permasalahan-permasalahan di atas antara lain:
1. Tuntutan Masyarakat Madani
Era reformasi adalah era untuk menuju suatu tatanan masyarakat terbuka dan percaya pada partisipasi masyarakat di dalam pengembnagan dirinya sendiri. Sutau tatanan terbuka, mandiri dan selalu mengedepankan partisipasi dari masyarakat itu merupakan inti dari masyarakat madani. Oleh karena itu, masyarakat madani adalah terciptanya suatu masyarakat di mana peranan pemerintah adalah sebagai fasilitator dan pengatur bukan sebagai pelaksana. Masyarakat sendirilah yang akan melaksanakan apa yang dia inginkan dan dia cita-citakan. Cita-cita tersebut dapat terlaksana apabila dilakukan di dalam suatu sistem yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Maka, sudah barang tentu partisipasi dari masyarakatlah yang sangat dibutuhkan disini di mana masih di dalam rambu-rambu kehidupan bersama masyarakat dan bangsa Indonesia yang bersatu.
Oleh sebab itu syarat-syarat untuk meningkatkan akuntabilitas pendidikan tinggi kita adalah semakin besarnya partisipasi masyarakat di dalam membangun pendidikan tingginya. Akreditasi seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah secara sendirian dengan demokrasinya, tetapi masyarakat harus juga dilibatkan khususnya dunia bisnis dan organisasi profesional. Dengan demikian lembaga BAN  yang ada dewasa ini perlu direformasi baik organisasinya maupun personalianya. Sesuai dengan angin demokrasi yang menuntut otonomi maka kita memerlukan bukan hanya satu badan akreditasi tetapi beberapa badan akreditasi tingkat regional. Di dalam badan tersebut duduk pemuka-pemuka masyarakat, organisasi-organisasi profesi, para pelaku bisnis, untuk ikut serta secata aktif menentukan akuntabilitas dari pendidikan tinggi di daerahnya.[27]
apabila kita ingin mencapai suatu kualitas tertentu di dalam pengembnagan pendidiakn tinggi kita, tentunya tidak dapat capai sekaligus dan cepat. Mencapai kualitas pendidikan sambil jalan. Sejarah perkembangan pendidikan tinggi di mana pun tidak ada yang mencapai suatu tingkat kualitas di dalam waktu yang singkat. Sudah tentu membutuhkan proses untuk menuju hasil yang diharapkan dan juga perlu adanya sanksi dari masyarakat bagi lembaga-lembaga yang merugikan masyarakatnya sendiri. Di dalam kaitannya ini biarlah masyarakat sendiri yang menimbang-nimbang dan mengukur apakah suatu institusi pendidikan mampu melaksanakan tuganya sebagai lembaga pengembangan masayarakat atau malah melanggar dan merugikan masyarakat.
Seperti telah diuraiakn di depan mengenai hambatan-hambatan, maka masalah otonomi pendidikan tinggi telah merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting. Otonomi yang seluas-luasnya pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi harus diberikan di dalam hal menentukan programnya sendiri, tenaga pengajar, sarana dan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Sejalan dengan lahirnya golongan menengah di Indonesia, khususnya di dalam bidang eonomi/bisnis, maka peranan dunia bisnis dan masyarakat dalam kaitannya dengan negara perlu dibenahi.[28]

Status dan Peran Lembaga Pendidikan Dewasa ini

 SHAPE  \* MERGEFORMAT
MASYARAKAT                    DUNIA BISNIS
LEMBAGA         PENDIDIKAN


NEGARA
Pyramid Diagram




Peran Lembaga Pendidikan dalam Masyarakat Madani

  LEMBAGA PENDIDIKAN
Masyarakat SHAPE  \* MERGEFORMAT


 NEGARA
Dunia Bisnia
2. Model Otonomi Kelembagaan
Di dalam masyarakat madani, hubungan antara masyarakat madani dengan negara, dunia bisnis dan negara, lembaga dengan negara merupakan pertanyaan sentral. Masyarakat madani hanya bisa terwujud apabila masyarakat/individu adalah bebas terhadap otoritas negara, dalam arti negara tidak dapat menghilangkan hak-hak masyarakat dan individu, juga lembaga-lembaga pendidikan tidak dapat didekte oleh negara, malahan seperti yang telah kita alami dewasa ini lembaga pendidikan tinggi kita adalah pusat gerakan moral yang menentang kekuasaan sewenang-wenang dari negara. Negara adalah fasilitator yang membantu masyarakat/individu, dunia bisnis dan lembaga pendidikan untuk melaksanakan tugas-tugasnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Interaksi antara ketiga komponen pranata sosial tersebut diatur alu lintasnya oleh negara.
Dengan hubungan interaktif yang telah dijelaskan di atas maka akan tumbuh lembaga pendidikan tinggi yang benar-benar mempunyai otonomi yang mempunyai orientasi pada pendidikan akademik, pendidikan profesional dan pendidikan berkualitas pada masyarakat/individu.
Strategi pengembangan dan peningkatan semua program pendidikan hendaknya diarahkan kepada lahirnya suatu lembaga pendidikan tinggi yang otonom dalam menyususn programnya yang benar-benar dapat menampung dinamika kehidupan serta memacu berkembangnya golongan menengah Indonesia yang merupkan motor dari maraknya masyarakat madani di Indonesia. Selama otonomi pendidikan tinggi kita dipasung, kita tidak dapat mengharapkan bahwa masyarakat Indonesia dipersiapkan untuk memasuki kehidupan dunia yang kompetitif. Pemecahan masalah ini tidak hanya tergantung pada Deparemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pengmabil keputusan, tapi merupakan pekerjaan rumah bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi pemerintah baru hasil pemilu yang akan datang dalam rangka menyusun suatu sistem pengembangan pendidikan tinggi yang sesuai dengan cita-cita kita bersama membangun Masyarakat Madani Indonesia.[29]
3. Kelembagaan Pendidikan
Lembaga pendidikan sebagai sarana pranata sosial dari kebudayaan di dalam pembangunan masyarakat madani indonesia haruslah menjiwai dan mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang memasung perkembangan intelektual dan moral dari peserta didik akan bertentangan dengan diameteral dengan tuntutan masyarakat madani. Kelembagaan pendidikan yang membatasi kebebasan perkembangan individu, berkaitan dengan atau tumbuh subur dalam, sistem birokrasi yang kaku.
Seperti yang menjadi praksis di dalam lembaga-lembaga pendidikan kita dewasa ini yaitu praksis pendidikan yang mematikan otonomi karena mengacu pada satu jenis program yang ditentukan oleh pemerintah tanpa alternatif, yang pada keseluruhannya mematikan berbagai prakarsa dan eksperimen, termasuk pemasungan kebebasan para pendidik. Para pendidik yang seharusnya mempunyai otonomi dan kebebasan, baik kebebasan intelektual maupun moral telah dikondisikan untuk mematuhi satu kebenaran saja. Akibatnya adalah sistem pendidikan nasional berupa manusia-manusia robot tanpa inisiatif dan tentu saja tidak dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi. Paradigma baru di dalam pengembangan kelembagaan pendidikan haruslah menghidupkan persaingan mutu yang memicu dinamisme kelembagaan pendidikan ke arah eksperimen tanpa merugikan kepentingan the stake holder yaitu peserta didik, orang tua dan mayarakat.[30]
4. Desentralisasi Menajemen Pendidikan Nasional
Sistem dan praksis pendidikan nasional dewasa ini sifatnya sangat sentralistik di bawah satu komando yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Contoh-contoh sentralisaasi yang kaku tersebut kita lihat dalam sentralisasi kurikulum, meskipun ada yang dinamakan kurikulum lokal, sentralisasi pengawasan, sentralisasi pengawasan mutu. Pengaturan mutu secara sentralisasi dapat kita lihat antara lain di dalam lembaga yang disebut badan akreditasi nasional (BAN) yang berorientasi sangat legalistik dengan misalnya keharusan adanya ujian nasional, syarat-sysrat untuk memenuhi dapat-tidaknya terselenggaranya proses pendidikan yang sangat kaku seperti keharusan memiliki gedung sendiri dan sebagainya. Badan Akreditsasi Nasional seperti keadaanya dewasa ini beranggapan bahwa hanya pemerintah saja yang dapat menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Memang diakui pihak swasta belum dapat menjamin mutu yang homogen sebagaimana yang diharapakan yang diharapkan oleh pemerintah.
Namun demikian dengan adanya suatu keharusan untuk mematuhi satu jenis ukuran yang ditetapkan oleh BAN maka ini artinya menutup pintu bagi masyarakat (swasta), bukan hanya untuk mengurangi beban pemerintah di dalam pembiayaan pendidikan, tetapi juga mematikan inisiatif masyarakat di dalam menyelenggarakan pendidikan. Hal ini sudah tentu bertentangan secara diameteral dengan sysrat-syarat lahirnya suatu masyarakat madani yang mengimplikasikan demokrasi partisipatoris dimana masyarakat bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri. Bukankah pendidikan itu dari masyarakat dan bersama-sama dengan masyarakat? sentralisasi manajemen pendidikan menunjukkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap kemampuan rakyat sendiri. Pemerintah merasa khawatir bahwa tanpa campur tangan pemerintah  tidak mungkin dapat dicapai mutu pendidikan pendidikan yang melahirkan output yang profesional dan berkualitas.
Namun hal ini sebenarnya suatu terhadap kekhawatiran terhadap potensi masyarakat itu sendiri. Mutu yang diingiinkan akan dapat dicapai sambil berjalan dalam memberdayakan masyarakat sendiri untuk mengatur, menilai dan memperbaiki mutu pendidikannya. Dengan demikian mutu lambat laun dapat ditingkatkan sedangkan partisipasi masyarakat yang merupakan cornerstone dari suatu masyarakat madani sudah mulai dilaksanakan.[31]
Selain untuk meningkatkan partisipasi masyarakat serta memberdayakan masyarakat, desentaslisasi manajemen pendidikan nasional merupakan emansipasi pendidikan[32] dalam negara kesatuan Indonesia akan memberikan dampak positif di dalam hal-hal berikut:
1.      Desentralissaasi manajeman pendidikan nasional akan mengembangkan kebudayaan lokal. Dengan demikian maslah pengisian muatan lokal di daerah-daerah telah merupakan suatu keharusan yang perlu direncanakan, dipersiapkan dan dikembangkan.
2.      Desentralissaasi manajeman pendidikan nasional akan mengembnagkan kebudayaan nasional sebagai benteng pertahanan menjaring pengaruh-pengaruh kebudayaan lokal yang negatif. Dan sejalan dengan itu  akan mengembangkan identitas bangsa Indonesia yang akan memperkuat ketahanan nasional.
3.      Desentralissaasi manajeman pendidikan nasional akan mengembangkan inisiatif untuk bereksperimen dan bersaing utnuk mengembangkan mutu pendidikan dan menciptakan manusia yang profesional dan berkualitas dalam menghadapi persaingan global.
4.      Desentralissaasi manajeman pendidikan nasional akan meningkatkan peran masyarakat (swasta) untuk mengembangkan ciri khasnya sebagai sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan nasional.

Hambatan dan Saran Penyelenggaraan Pendidikan DI Indonesia

INDIKATOR
HAMBATAN
SARAN
AKUNTABILITAS
·        Kebijakan pemerintah yang sangat dominan masalah pendidikan di Indonesia
·        Terikat pada peraturan-peraturan yang baku demi melindungi kebutuhan konsumen.
·        Masyarakat dilecehkan (ketidakpercayaan pemerintah akan kemampuan rakyat/masuyarakat sendiri)
·         Negara adalah fasilitator dan pengatur, bukan pelaksana.
·         Akreditasi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh negara juga harus melibatkan masyarakat.
·         Lembaga BAN (badan akreditasi nasional) direformasi organisai dan personalianya.

KUALITAS
·        Ingin mencapai uniformitas kualitas
·        Kualitas untuk pemerintah, bukan untuk masyaakat.
·        Kualitas tanpa adanya persaingan yang fair.
·         Mencapai kualitas sambil jalan
·         Perlu adanya sanksi dari msyarakat bagi lembaga yang merugikan masyarakat
OTONOMI
·         Otoritas pemerintah yang sentralistik, tidak memberikan peluang bagi inovasi
·         Uiniformitas yang menegaskan keragaman
·         Otonomi yang seluas-luasnya pada lembaga (desentralisasi) dalam menetukan program, tenaga pengajar, sarana dan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri

PENUTUP
Pendidikan profesional dan berkualitas menjadi tuntutan bagi terciptanya tatanan masyarakat madani Indonesia, artinya dalam proses pendidikan harus dapat meciptakan output yang yang dapat membawa pada peradaban yang mandiri, maju dan kuat. Tentu saja dalam pelakasanaannya harus ada kerjasama antara pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia untuk menuju cita-cita yang di harapkan yaitu menuju masyarakat madani.
Pendidikan profesional dan berkualitas dilakukan karena ada beberapa hal, yaitu: tuntutan dunia terbuka, perubahan dunia yang sangat cepat, belajar dari pengalaman, kemajuan teknologi dalam semua sektor industri (akibat arus globalisasi), orientasi pada budaya pendidikan akademik, orientasi pendidikan profesional dan orientasi pendidikan berkualitas. Sedangkan penghambat pendidikan di Indonesia untuk mencapai tatanan masyarakat madani antara lain karena kurangnya akuntabilitas, masalah kualitas pendidikan, dan otonomi pendidikan. Oleh karena itu beberapa saran solusi dari permasalahan di atas antara lain adanya tuntutan masyarakat madani, Model otonomi kelembagaan, kelembagaan pendidikan dan desentralisasi menajemen pendidikan nasional.



[1] Rosyada Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis (Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan), (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 1
[2] Kompas, 14 Januari 2007
[3] Rosyada Dede, Op. Cit, hal. 2
[4] Ibid, hal. 2
[5] Hilaly Basya, Pendidikan dan Dinamika Peradaban, Bernas Jogja, 20 April 2007, hal. 1
[6] www.antaranews.com/.../pertumbuhan-ekonomi-indonesia-2011
[7] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003), hal. 240-241
[8] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia (Strategi Reformasi Pendidikan Nasional), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 216
[9] H. Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: CV Grafika Indah, 2006), hal. 72
[10] Ki Supriyoko, Revitalisasi Pendidikan Nasional, Kompas, 10 Agustus 2006, hal. 6
[11] Millenium adalah suatu istilah yang mengacu pada rentnag waktu untuk jangka setiap seribu tahun.
[12] Nata Abuddin, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 83
[13] Ibid, hal 216
[14] Rosyada Dede, Op. Cit, hal. 9
[15] H.A.R Tilaar, Op. Cit,  hal. 217
[16] Jusuf Amir Faisal, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, hal. 131
[17] Rosyada Dede, Op. Cit., hal, 9
[18] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 141
[19] H.A.R Tilaar, Op. Cit.,  hal. 219
[20] Tim ICCE UIN Jakarta, Op. Cit., hal 240
[21] Mohammad Thoha Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2003), Cet. I, hal. 136
[22] Sindhunata, Menggagas Paradigma Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 77
[23] H.A.R Tilaar, Op. Cit.,  hal. 220
[24] Slamet PH. Handout Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2005, hal 5


[25] H.A.R Tilaar, Op. Cit,  hal. 221
[26] Ibid, hal. 221
[27] Ibid, hal. 222
[28] Polemik mengenai fungsi negara dalam lembaga pendidikan untuk masyarakat madani, lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; IBRD, ADB, Konferensi Pendidikan Indonesia, Mengatasi Krisis: Menuju Pembaharuan, Jakarta, 23-24 Februari 1999
[29]Ibid,  hal. 225
[30] H.A.R Tilaar, Op. Cit, hal. 175
[31] Ibid, hal. 176
[32] Indar Mastri, Desentralisasi Pendidikan, Jawa Pos, 29 April 2003, hal. 4

Tidak ada komentar: