Rabu, 01 Mei 2013

Urgensitas Reformasi Moral



Indonesia merupakan bangsa yang mempunyai falsafah hidup sempurna, yaitu Pancasila. Semua lapisan kehidupan, baik lahir maupun batin tertuang di dalamnya. Mulai dari ketuhanan yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya, sampai keadilan di antara sesama manusia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi nilai kondrat Transendental dan makhluk (manusia). Namun penghormatan tinggi terhadap nilai kodrat Transendental tidak diimbangi dengan penghormatan tinggi terhadap nilai kodrat manusia. Pelanggaran HAM, kriminalitas, pembunuhan, dan penurunan derajat manusia masih merajalela di mana-mana.
Apalagi maraknya tindakan sadisme, kekerasan seksual anak dan premanisme akhir-akhir ini kian memperkeruh moral bangsa Indonesia. Masih segar dalam ingatan, bagaimana tindakan mutilasi, yakni pada Selasa, 5 Maret 2013. Darna Sri Astuti dibunuh suaminya sendiri Benget Situmorang alias Impus, dengan cara dimutilasi menjadi enam potongan di Jalan Tol Cikampek, Jakarta Timur. Sedangkan kekerasan seksual anak, Data Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, dari awal Januari 2013 hingga 2 April 2013 terdapat 127 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Dan yang paling santer dibicarakan adalah tindak premanisme yang meresahkan masyarakat, khususnya masyarakat Jogja akhir-akhir ini.
Dari tiga contoh di atas dan masih banyak contoh lain di luar sana, nampaknya bangsa Indonesia terlalu larut dalam buaian krisis moral yang sudah mencapai level akut. Hal ini tentu sangat tidak sejalan dengan falsafah Pancasila, khususnya sila IV. Mutilasi, kekerasan seksual anak, dan premanisme merupakan perangai yang tidak mencerminkan sikap keberadaban kepada sesama. Sehingga, jika bangsa ini mau maju menjadi lebih baik. Maka tuntutan “reformasi moral” merupakan salah satu solusi yang harus direalisasikan selain penegakan hukum yang adil. Hal ini dilakukan dalam rangka supaya krisis moral dapat lenyap dan hilang dari bangsa ini.
Meminjam Istilah Faisal Ismail, seorang Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, reformasi (reformation) berasal dari kata “to reform” yang berarti membentuk, membangun, memperbaiki atau memperbaharui kembali. Jadi dalam melakukan reformasi ini ada sesuatu yang lama (usang) yang harus dijebol dan dibuang karena dianggap sudah tak relevan dengan perkembangan zaman. Seraya menjebol dan membuang yang lama, harus ada sesuatu yang baru yang harus dibangun, dibentuk, diperbaiki, dan diperbaharui kembali. Dengan demikian, makna reformasi di sini identik dengan pembaharuan atau perbaikan kembali.
Dari makna reformasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa reformasi moral merupakan usaha untuk kembali ke tatanan moral yang sejati dengan cara memperbaharui dan memperbaiki kembali moral yang rusak. Reformasi moral ini dapat dilakukan dengan pengelaborasian ajaran moral yang sudah tertuang dalam kitab suci dan falsafah bangsa oleh setiap individu. Juga pengawasan orang tua dan pengajaran moral (karakter) di masyarakat, khususnya di bangku sekolah. Perlu ditanamkan sejak dini jiwa menjamin, menghormati, menjaga, dan saling melengkapi satu sama lain pada diri anak. Bukan menghabisi, menghina, atau mencabut hak sesama.
Sehingga dengan reformasi ini kita akan menjadi “manusia baru” untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik. Jika individu-individu dapat melakukan reformasi moral, maka kehidupan bangsa yang harmonis, toleran, humanis, dan damai akan terwujud.

MELESTARIKANHAK ASASI MANUSIA (HAM) DENGAN KEMBALI KEPADAKONSEP KEMANUSIAAN MENURUT AL-QUR’AN



Hak asasi manusia (HAM) menjadi tema sentral dalam satu abad terakhir. Sebenarnya masalah HAM sudah sejak lama menjadi perhatian orang. Masalah ini timbul setiap terjadi pelanggaran oleh segolongan hamba Allah terhadap golongan lain. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi akhir-akhir ini semakin memperkeruh kondisi HAM di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pembunuhan, kezaliman, penindasan, pengekangan, pemerkosaan, dan perbudakan sampai sekarang masih merajalela di mana-mana. Sayidina Umar Bin Khattab pernah berkata: “Mengapa engkau perbudak manusia, padahal dia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka”.
Contoh konkrit dari perkataan Sayidina Umar di atas adalah adanya peperangan antara Palestina dan Israel yang tak henti-hentinya menjadi sorotan dunia. Hak kehidupan rakyat palestina terampas oleh keganasan kaum zionis. Apalagi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual akhir-akhir ini yang terjadi di Indoensia. Bahkan hal tersebut terjadi pada anak-anak yang masih di bawah umur.Sungguh sangat ironi permasalahan HAM di dunia ini, khususnya Indonesia. Hal ini semakin membuat buramnya keadaan bermasyarakat di indonesia. Tentu saja hal ini tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Terjadinya pelanggaran HAM sering diakibatkan karena kurangnya pelestarian dan penegakkan HAM itu sendiri, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pribadi masing-masing.
Untuk melestarikan hak-hak asasi manusia ini telah banyak konsepsi yang dibuat. Peraturan tentang perlindungan HAM telah terpatri dalam sebuah undang-undang. Keputusan deklarasi persatuan bangsa-bangsa (pbb) pada tanggal 10 desember 1948 silam telah melahirkan universal declaration of human right. Hak-hak asasi manusia diterima dunia sebagai prinsip untuk menciptakan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Tapi sampai sekarang, masih banyak penindasan oleh golongan satu kepada golongan lainnya. Keadilan masih diragukan oleh sebuah kepentingan dan permusuhan semakin merajalela. Karena itu, untuk melestarikan sekaligus menegakan HAM ini, kita harus kembali kepad al-qur’an yaitu konsepsi kemanusiaan yang dapat menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat. Sebab konsepsi al-qur’an adalah konsepsi yang diberikan langsung oleh allah kepada hamba-nya.
Al-qur’an yang merupakan ajaran yang diturunkan allah kepada nabi muhammad saw telah mengandung dan menjamin segala hak-hak asasi manusia. Al-qur’an berada jauh di atas dengan deklarasi HAM yang dikonsep oleh manusia.
Di antara konsepsi al-qur’an tentang hak-hak asasi manusia adalah: pertama, hak hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi. Hidup merupakan salah satu dari hak-hak alami institusional yang tidak memeerlukan persutujuan sosial atau semacamnya. Hidup merupakan karunia yang diberikan langsung oleh allah kepada makhluknya. Seseorang tidak kuasa menghidupakn dan melenyapkan kehidupan orang lain tanpa kehendak tuhan. aksi penindasan dan pembunuhan merupakan tindakan yang sangat dilarang dan manusia tidak punya hak akan hal itu. Kekuasaaan menghidupkan dan mematikan hanyalah milik allah. Sebagaimana yang disabdakan allah dalam surat qaaf: 42 yang artinya: Sesungguhnya Kami menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada Kami-lah tempat kembali (semua makhluk). Diterangkan juga dalam suratal-hijr: 23 yang artinya: “Dan sesungguhnya benar-benar kami yang menghidupakn dan mematikan, kami (pulalah) mewarisi”.
Karena itu, setiap manusia mempunyai hak sama unjtuk hidup dan meneruskan kehidupannya serta mempertahankan kehidupannya itu dengan bebas dan bertanggungjawab. Kemerdekaan yang dimiliki manusia adalah jaminan atas keamanan dirinya. Apabila kemerdekaan seseorang terganggu atau terancam berarti ancaman kepada eksistensi hidupnya.
Kedua, hak berpendapat. Berpendapat artinya mengutarakan ide atau gagasan dari hasil penglihatan, pendengaran dan perenungan. Tentunya dalam berpendapat tidak serta merta mengutarakan apa saja tanpa batasan dan aturan. Islam sangat menganjurkan adanya pendapat yang membangun, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, bukan pendapat yang dapat menurukan martabat manusia. Allah berfirman dalam surat ali imran: 104 yang artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.Maka sangatlah jelas, bahwa islam memebrikan perhatian penuh terhadap kebebasn berpendapat sepanjang masih sesuai aturan.
Ketiga, hak berserikat dan berkumpul. Kebebasan yang satu ini kiranya sudah tidak bisa dibantah lagi oleh semua orang. Seseorang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Ini artinya ada tuntutan untuk berhubungan, berserikan dan berkumpul dengan orang lain supaya kebutuhannya dapat terpenuhi. Menurut islam, melalui perserikatan perkumpulan dan mengadakan hubungan-hubungan dan sebagainya adalah suatu kekuatan untuk memperjuangkan hak-ahak asasi manusia dalam suasana persaudaraan (dalizar, 1995, 57). Jadi, bahwa islam menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul bagi setiap orang. Hal ini tidak hanya jaminan saja, akan tetapi sebuah tuntutan yang harus dikerjakan dalam kehidupan bermasyarakat.
Keempat, hak beragama. Hak beragama merupakan hak paten bagi setiap manusia. Hak ini merupakan media manusia berhubungan dengan tuhan-nya. Karena itu, apabila seseorang tidak beragama maka sudah melanggar hak-hak asasinya sebagi manusia. Sementara islam memandang hak beragama ini terwujud dalam bentuk-bentuk, yaitu: tidak ada paksaan dalam memluk suatu agama (q.s. al-baqarah: 259) dan islam memberikankeleluasaan kepada non islam (ahli kitab) apa yang menjadi haknya dan tidak mengganggu dan bertentangan dengan hukum islam.
Kelima, hak mendapatkan pekerjaan. Allah berfirman dalam surat al-muluk: 15 yang artinya Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. Ayat tersebut nampak jelas bahwa allah menyuruh bekerja dalam rangkan mencari rizqi dari allah. Maka mendapatkan pekerjaan yang akan menatangkan rizqi berarti mengakui dan tidak menafikan hak dasar ini.
Keenam, hak mendapatkan pendidikan. allah menjamin hak ini karena pendidikan merupakan sebagian alat untuk mencapai kemerdekaan dan alat untuk hidup yang tinggi bagi manusia. Karena itu pendidikan atau menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap muslim. Sebagaimna hadits nabi: “menuntut ilmi adalah wajib bagi setiap musli”. (h.r bukhari dan ibnu abdul bar)
Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk melestarikan dan menegakan HAM maka dalam pelaksanaannya harus dikembalikan pada konsepsi al-qur’an. Konsepsi yang menjamin kelestarian hak-hak asasi manusia dan untuk menciptakan kebahagiaan hidup bagi manusia.


Dialektika Santet dalam RUU KUHP



Fenomena santet kini telah menjadi isu hangat yang santer diperbincangkan. Tidak hanya di kalangan selebriti, di kalangan anggota DPR kini menjadi masalah serius. Bahkan santet kini menjadi sajian pokok media, baik elektronik maupun cetak. Yaitu tentang diusulkannya santet dimasukkan dalam RUU KUHP oleh DPR. Hal ini tentu mendapat respon beragam dari masyarakat, khususnya para anggota DPR sendiri. Ada yang mendukung juga ada yang menolak. Dialektika keduanya sampai sekarang belum mendapatkan titik terang untuk ke depan. Namun sebelum membahas lebih lanjut diskursus santet dalam RUU KUHP. Ada baiknya kita ketahui makna dari santet itu sendiri, sehingga kita paham apa yang sedang kita bahas sekarang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santet sama dengan sihir; jadi menyantet sama dengan menyihir. Selain itu santet juga mengadung arti pertama, perbuatan yang ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra dan sebagainya). Kedua, ilmu tentang penggunaan kekuatan gaib. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki sihir maka disebut sebagai tukang sihir.
Sebagai individu yang tinggal dalam masyarakat, kita tidak bisa mengelak untuk tidak menafikan santet. Dalam kehidupan ini, santet memang diakui keberadaannya. Para pengusul santet untuk dimasukkan dalam RUU KUHP juga menyadari akan hal itu. Selain memang diakui keberadaanya, masyarakat juga mengakui akan bahaya yang ditimbulkan. Banyak kejadian aneh berbahaya akibat santet yang tidak bisa di nalar oleh akal sehat. Misalnya terdapat jarum, besi, atau kawat diperut seseorang. Tiba-tiba muntah-muntah darah bercampur baut (sejenis besi kecil) dan perut menjadi besar. Atau bahkan tiba-tiba merasa kesakitan, kejang-kejang dan langsung meninggal.
Berangkat dari fenomena di atas, angggota DPR kini telah serius membicarakan masalah santet dan mengusulkannya supaya dimasukkan dalam RUU KUHP. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas, usulan tersebut mendapat respon berbeda di kalangan anggota DPR. Hal ini tak pelak memunculkan diskursus atau dialektika yang sampai saat ini tak kunjung reda di kalangan DPR. Bagi yang sependapat santet dimasukkan dalam RUU KUHP, santet dianggap dapat membahayakan orang lain. Selain itu pelaku santet dikatakan telah melakukan tindak pidana karena telah menciderai atau melukai orang lain dengan ilmu sihirnya atau santetnya. Sehingga santet atau pelaku santet perlu dimasukkan dalam KUHP. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya santet di masyarakat.
Di lain sisi, pihak yang kontra beranggapan bahwa jika masalah santet dimasukkan dalam KUHP, bagaimana cara membuktikannya? Dapatkah santet dibuktikan dengan pengalaman empiris atau legal formal? Dapatkah pelaku santet langsung dikenahi hukuman hanya dengan pengakuan dari orang lain? Padahal dalam hukum, apapun harus dapat dibuktikan secara riil atau empiris, kemudian disahkan di pengadilan berdasarkan bukti riil tersebut. Sedangkan santet adalah masalah gaib, bukan masalah legal formal yang menjadi ciri khas hukum. Kalau masalah santet belum bisa dibuktikan secara nyata, maka tidak bisa dimasukkan dalam KUHP. Atau apabila pelaku santet belum bisa dibuktikan bahwa dia lah yang telah melakukan santet tanpa ada bukti, maka tidak bisa dimasukkan dalam RUU KUHP. Selain tidak bisa dibuktikan secara empiris, santet juga akan memunculkan fitnah terhadap seseorang apabila dimasukkan dalam KUHP. Seseorang dapat menjadi tertuduh atas pengakuan orang lain yang mengatakan bahwa orang tersebutlah yang menyantet. Padahal kembali lagi, tidak ada bukti nyata yang memadahi.
Inilah yang menjadi dialektika panjang anggota DPR dalam usahanya memasukkan santet dalam RUU KUHP. Dalam kasus santet, rasanya sulit menemukan alat bukti. Karena itu, menurut logika hukum, perkara santet sulit diproses secara hukum dan kasusnya sulit dibawa ke meja hijau. Namun, sebagai masyarakat awam yang tidak tahu menahu tentang hukum. Kita hanya bisa berharap bahwa masalah santet ini dapat terselesaikan dengan baik. Baik masalah santet itu sendiri maupaun hukum yang mengaturnya.