Globalisasi
dan modernisasi, di samping telah membawa berkah kemajuan, diakui pula telah
menimbulkan krisis zaman modern yang hal itu dapat dilihat dari bebagai
persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia. Manusia di
zaman ini telah menghadapi berbagai krisis atau penyakit secara multidimensional
baik aspek fisik, psikis, sosial, ekonomi, maupun spiritual/keagamaan. Zaman sekarang
juga menuntut adanya sebuah hal yang serba konkrit, logis, dan pasti (kebudayaan
neoteknik) dalam semua hal termasuk bidang keagamaan. Hal ini tentunya akan
menjadi masalah baru apabila manusia tidak mendapatkan jawaban logis, konkrit
dan pasti dari agama.
Dalam
masalah agama para umat di dunia membutuhkan jawaban atas permasalahan yang
dialami dalam kesehariaannya, tentunya ini berhubungan dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas). Di dalam menjawab permasalahan yang begitu
kompleks yang berhubungan dengan keagamaan
maka harus ada sebuah alat perantara di dalam pelaksanaannya. Hal ini
tentunya dakwah yang menjadi alat perantaranya. Dakwah dikatakan sebagai ujung
tombak agama Islam dalam menyebarkan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qu’an
dan Hadits.
Di
dalam masalah dakwah zaman sekarang, mad’u (penerima dakwah) menuntut adanya hal yang konkrit, logis, dan
pasti seperti apa yang telah dipaparkan di atas dalam masalah yang berkenaan
dengan masalah spiritual/keagamaan. Hal ini tentunya menjadi tantangan besar
dalam bidang dakwah khususnya bagi para pembawa risalah Islam (da’i /penyampai
dakwah). Da’i dituntut untuk dapat mensyiarkan Islam secara maksimal sesuai
dengan kebutuhan manusia dan perkembangan zaman. Hal ini tentunya membutuhkan
formulasi baru yang harus dikuasai oleh para da’i sebagai wujud perkembangan
dinamika dakwah Islam. Hemat penulis, formulasi baru yang harus dikuasai oleh
para da’i adalah penguasaan ilmu agama/ keulamaan yang meliputi tiga hal, yaitu
aqidah, syari’ah, dan akhlaq yang dipadukan dengan intelektualitas .
Da’i
yang berbasis keulamaan dan intelektualitas adalah da’i yang memiliki pemahaman
keagamaan dan disiplin ilmu lain yang mendalam dan rasional serta mampu
mentransformasikan Islam menjadi agama yang aktif, bukan agama yang pasif. Da’i
yang seperti ini adalah sosok da’i yang mengarap “proyek” besar dalam situasi
masyarakat seperti sekarang ini, di mana para da’i memiliki cara pandang dan
cita-cita yang sama untuk menggerakkan revolusi dengan ideologi Islam dan
pengetahuan ilmiah. Lihat saja para tokoh Islam yang memilkiki pengtehuan agama
luas juga intelektualitas yang tinggi seperti para ulama’ Iran, Murtadha
Muthahhari, Ali Syari’ati, dan Bani Shadr. Mereka menggunakan “senjata
intelektual” sebagai penguat dalam melakukan dakwahnya khususnya dalam
menghadapi sistem-sistem dan ideologi global.
Dua
hal tadi (keulamaan dan intelektualitas) apabila dapat dimiliki oleh para da’i
tentunya akan lebih maksimal dalam mentransformasikan pesan Ilahi kepada mad’u.
Penyampaian pesan-pesan agama atau fatwa
dapat disalurkan secara lebih mendalam kepada mad’u. Dengan dibumbui dengan
bukti riil/ilmiah yang merupakan output dari intelektual, maka penyampaian yang
dilakukan dapat berjalan lebih matang dan sesuai dengan harapan masyarakat sekarang
yang lebih mengedapankan kelogisan, kepastian dan kekonkritan akan suatu hukum.
Masyarakat
zaman sekarang akan lebih menerima fatwa para da’i apabila diiringi dengan
pernyataan atau bukti ilmiah, yang juga menjadi ciri khas masyarakat intelek.
Oleh karena itu, disini sebenarnya apa yang menjadi kunci keberhasilan dalam
berdakwah dilihat dari perspektif da’i. Da’i dituntut untuk dapat
mengkombinasikan ilmu-ilmu keulamaan dengan intelektual, mewujudkan dasar-dasar
intelektual ke dalam analisis sosial qur’ani, mampu mengaktualisasikan pada
realitas objektif dan mampu memanifestasikan amal secara efektif.
Dengan
demikian, para punggawa amar ma’ruf nahi munkar dituntut untuk dapat
mengeksplorasi dan memadukan antara ilmu keagamaan dan beberapa disiplin ilmu
lain yang bersifat ilmiah yang berkenaan dengan dakwah yang akan disampaikan.
Dengan adanya perpaduan antara keulamaan dan intelektualitas yang dimiliki oleh
para da’i, diharapkan eksistensi Islam di dunia tidak akan pudar bahkan menjadi
lebih eksis dan berwarna serta terdepan dalam penegakkan nilai-nilai Islam. Juga
memberikan makna pada perkembangan Islam yang lebih luas dan memberikan
kearifan kepada umat secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar