Indonesia merupakan bangsa yang mempunyai falsafah hidup sempurna,
yaitu Pancasila. Semua lapisan kehidupan, baik lahir maupun batin tertuang di
dalamnya. Mulai dari ketuhanan yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya,
sampai keadilan di antara sesama manusia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan bangsa yang menjunjung tinggi nilai kondrat Transendental dan makhluk
(manusia). Namun penghormatan tinggi terhadap nilai kodrat Transendental tidak
diimbangi dengan penghormatan tinggi terhadap nilai kodrat manusia. Pelanggaran
HAM, kriminalitas, pembunuhan, dan penurunan derajat manusia masih merajalela
di mana-mana.
Apalagi maraknya tindakan sadisme, kekerasan seksual anak dan
premanisme akhir-akhir ini kian memperkeruh moral bangsa Indonesia. Masih
segar dalam ingatan, bagaimana tindakan mutilasi, yakni pada Selasa, 5 Maret
2013. Darna Sri Astuti dibunuh suaminya sendiri Benget Situmorang alias Impus,
dengan cara dimutilasi menjadi enam potongan di Jalan Tol Cikampek, Jakarta
Timur. Sedangkan kekerasan seksual anak, Data Komisi Nasional Perlindungan Anak
mencatat, dari awal Januari 2013 hingga 2 April 2013 terdapat 127 kasus
kekerasan seksual terhadap anak-anak. Dan
yang paling santer dibicarakan adalah tindak premanisme yang meresahkan
masyarakat, khususnya masyarakat Jogja akhir-akhir ini.
Dari tiga contoh di atas dan masih banyak contoh lain di luar sana,
nampaknya bangsa Indonesia terlalu larut dalam buaian krisis moral yang sudah
mencapai level akut. Hal ini tentu sangat tidak sejalan dengan falsafah Pancasila,
khususnya sila IV. Mutilasi, kekerasan seksual anak, dan premanisme merupakan
perangai yang tidak mencerminkan sikap keberadaban kepada sesama. Sehingga,
jika bangsa ini mau maju menjadi lebih baik. Maka tuntutan “reformasi moral”
merupakan salah satu solusi yang harus direalisasikan selain penegakan hukum
yang adil. Hal ini dilakukan dalam rangka supaya krisis moral dapat lenyap dan
hilang dari bangsa ini.
Meminjam Istilah Faisal Ismail, seorang Guru Besar UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, reformasi (reformation) berasal dari kata “to
reform” yang berarti membentuk, membangun, memperbaiki atau memperbaharui
kembali. Jadi dalam melakukan reformasi ini ada sesuatu yang lama (usang) yang
harus dijebol dan dibuang karena dianggap sudah tak relevan dengan perkembangan
zaman. Seraya menjebol dan membuang yang lama, harus ada sesuatu yang baru yang
harus dibangun, dibentuk, diperbaiki, dan diperbaharui kembali. Dengan
demikian, makna reformasi di sini identik dengan pembaharuan atau perbaikan
kembali.
Dari makna reformasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa reformasi
moral merupakan usaha untuk kembali ke tatanan moral yang sejati dengan cara
memperbaharui dan memperbaiki kembali moral yang rusak. Reformasi moral ini
dapat dilakukan dengan pengelaborasian ajaran moral yang sudah tertuang dalam
kitab suci dan falsafah bangsa oleh setiap individu. Juga pengawasan orang tua
dan pengajaran moral (karakter) di masyarakat, khususnya di bangku sekolah. Perlu
ditanamkan sejak dini jiwa menjamin, menghormati, menjaga, dan saling
melengkapi satu sama lain pada diri anak. Bukan menghabisi, menghina, atau
mencabut hak sesama.
Sehingga dengan reformasi ini kita akan menjadi “manusia baru”
untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik. Jika individu-individu dapat
melakukan reformasi moral, maka kehidupan bangsa yang harmonis, toleran,
humanis, dan damai akan terwujud.