Rabu, 01 Mei 2013

Dialektika Santet dalam RUU KUHP



Fenomena santet kini telah menjadi isu hangat yang santer diperbincangkan. Tidak hanya di kalangan selebriti, di kalangan anggota DPR kini menjadi masalah serius. Bahkan santet kini menjadi sajian pokok media, baik elektronik maupun cetak. Yaitu tentang diusulkannya santet dimasukkan dalam RUU KUHP oleh DPR. Hal ini tentu mendapat respon beragam dari masyarakat, khususnya para anggota DPR sendiri. Ada yang mendukung juga ada yang menolak. Dialektika keduanya sampai sekarang belum mendapatkan titik terang untuk ke depan. Namun sebelum membahas lebih lanjut diskursus santet dalam RUU KUHP. Ada baiknya kita ketahui makna dari santet itu sendiri, sehingga kita paham apa yang sedang kita bahas sekarang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santet sama dengan sihir; jadi menyantet sama dengan menyihir. Selain itu santet juga mengadung arti pertama, perbuatan yang ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra dan sebagainya). Kedua, ilmu tentang penggunaan kekuatan gaib. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki sihir maka disebut sebagai tukang sihir.
Sebagai individu yang tinggal dalam masyarakat, kita tidak bisa mengelak untuk tidak menafikan santet. Dalam kehidupan ini, santet memang diakui keberadaannya. Para pengusul santet untuk dimasukkan dalam RUU KUHP juga menyadari akan hal itu. Selain memang diakui keberadaanya, masyarakat juga mengakui akan bahaya yang ditimbulkan. Banyak kejadian aneh berbahaya akibat santet yang tidak bisa di nalar oleh akal sehat. Misalnya terdapat jarum, besi, atau kawat diperut seseorang. Tiba-tiba muntah-muntah darah bercampur baut (sejenis besi kecil) dan perut menjadi besar. Atau bahkan tiba-tiba merasa kesakitan, kejang-kejang dan langsung meninggal.
Berangkat dari fenomena di atas, angggota DPR kini telah serius membicarakan masalah santet dan mengusulkannya supaya dimasukkan dalam RUU KUHP. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas, usulan tersebut mendapat respon berbeda di kalangan anggota DPR. Hal ini tak pelak memunculkan diskursus atau dialektika yang sampai saat ini tak kunjung reda di kalangan DPR. Bagi yang sependapat santet dimasukkan dalam RUU KUHP, santet dianggap dapat membahayakan orang lain. Selain itu pelaku santet dikatakan telah melakukan tindak pidana karena telah menciderai atau melukai orang lain dengan ilmu sihirnya atau santetnya. Sehingga santet atau pelaku santet perlu dimasukkan dalam KUHP. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya santet di masyarakat.
Di lain sisi, pihak yang kontra beranggapan bahwa jika masalah santet dimasukkan dalam KUHP, bagaimana cara membuktikannya? Dapatkah santet dibuktikan dengan pengalaman empiris atau legal formal? Dapatkah pelaku santet langsung dikenahi hukuman hanya dengan pengakuan dari orang lain? Padahal dalam hukum, apapun harus dapat dibuktikan secara riil atau empiris, kemudian disahkan di pengadilan berdasarkan bukti riil tersebut. Sedangkan santet adalah masalah gaib, bukan masalah legal formal yang menjadi ciri khas hukum. Kalau masalah santet belum bisa dibuktikan secara nyata, maka tidak bisa dimasukkan dalam KUHP. Atau apabila pelaku santet belum bisa dibuktikan bahwa dia lah yang telah melakukan santet tanpa ada bukti, maka tidak bisa dimasukkan dalam RUU KUHP. Selain tidak bisa dibuktikan secara empiris, santet juga akan memunculkan fitnah terhadap seseorang apabila dimasukkan dalam KUHP. Seseorang dapat menjadi tertuduh atas pengakuan orang lain yang mengatakan bahwa orang tersebutlah yang menyantet. Padahal kembali lagi, tidak ada bukti nyata yang memadahi.
Inilah yang menjadi dialektika panjang anggota DPR dalam usahanya memasukkan santet dalam RUU KUHP. Dalam kasus santet, rasanya sulit menemukan alat bukti. Karena itu, menurut logika hukum, perkara santet sulit diproses secara hukum dan kasusnya sulit dibawa ke meja hijau. Namun, sebagai masyarakat awam yang tidak tahu menahu tentang hukum. Kita hanya bisa berharap bahwa masalah santet ini dapat terselesaikan dengan baik. Baik masalah santet itu sendiri maupaun hukum yang mengaturnya.

Tidak ada komentar: